Rabu, 26 Juni 2013

Agama yang paling tringgi Allah SWT



Sebelum kami melanjutkan bantahan kami terhadap kebohongan-kebohongan murahan yang mereka lakukan, hal pertama yang harus kami tegaskan dengan sangat bangga adalah mengenai kebenaran sejarah dan hakikat syariat yang memenuhi jagat raya ini, bahkan alam semesta tidak cukup untuk memuat keduanya, yang kami maksud dengan kenyataan sejarah dan kewajiban syariah yang takterbantahkan adalah adanya jihad (berjuang di jalan Allah).
Iya, agama kita datang membawa perintah untuk berjihad, para pendahulu kita benar-benar melaksanakan perintah ini. Mereka berperang, tapi perang mereka murni di jalan Allah, sebagaimana firman Allah: sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu semata-mata hanya untuk Allah (Qs. Al-Baqarah: 193). Dan sebagaimana sabda Nabi As: Agar agama Allah menjadi agama yang paling tinggi.
Dan ini yang menjadi sumber kebanggaan kita.
Kami tidak bangga hanya karena nenek moyang kita berperang dan menang. Sudah berapa kaum yang berperang dan menang, baik di zaman dulu atau di zaman sekarang, dan sudah berapa peperangan yang terjadi dalam sejarah, baik dulu maupun sekarang, bahkan binatang liar yang sangat berbahaya juga saling membunuh di dalam hutan, ratu semut pun saling membunuh. Perang sendiri meski sampai diakhiri dengan kemenangan besar tidak lantas bisa dijadikan suatu kebanggan, kecuali menurut orang yang tidak beragama.
Yang kami banggakan adalah bahwa hanya kitalah umat Islam yang sejak empat belas abad lalu bahkan lebih, yang berperang demi meninggikan agama Allah, jika tujuan dari berperangnya seperti ini, maka perang itu menjadi perang yang mulia, dan perang yang dilakukan umat kita memang demikian. Sampai ada salah seorang penyair yang mengatakan, “Sesungguhnya pedang umat Islam itu sopan”. Iya, demi Allah, sesungguhnya pedang umat kita sangat sopan, sopan seperti apa? Diantara bentuk kesopanannya adalah bahwa ia menebas orang-orang zalim yang diktator agar berhenti berbuat semena-mena dan menzalimi orang-orang yang lemah, dan yang sering terjadi orang-orang lemah yang ditolong bukan orang-orang Islam, bahkan mereka merupakan orang-orang yang ingkar terhadap kenabian Nabi Muhammad dan termasuk orang yang menolak agama Islam.
Benar apa yang dikatakan Ruba’i bin Amir yang menjawab pertanyaan Rustum panglima perang pasukan Persia yang bertanya kepadanya, “Apa yang membuat kalian datang ke negara kami?” Ruba’i menjawab, “Sesungguhnya Allah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja yang mau, dari menyembah manusia menjadi penyembah Pencipta manusia, membebaskan mereka dari agama yang salah ke agama yang benar, dan dari kesempitan dunia menuju keluasan akhirat”.
Orang-orang Kristen Mesir termasuk golongan yang lemah sampai datang umat kita di bawah pimpinan panglima agung Amru bin Ash Ra yang membebaskan mereka dari kungkungan (agama yang jahat menuju keadilan Islam). Semua tahu penindasan mengerikan yang dilakukan orang-orang Romawi terhadap penganut Kristen Koptik di Mesir yang memaksa mereka mengubah madzhab Gereja mereka. Hal ini diakui oleh Uskup tinggi Gereja Koptik yang sekarang, dia memberikan pernyataan pada tanggal dua puluh satu bulan Oktober tahun seribu Sembilan ratus Sembilan puluh delapan, bertepatan dengan dua puluh tujuh tahun kepausannya, dia menyatakan, “Penaklukan yang dilakukan orang-orang Islam di Mesir merupakan awal fase aman yang dirasakan orang-orang Koptik dan akhir dari masa penindasan atas nama agama yang dialami mereka di bawah kekuasaan Romawi dan yang lainnya”. Gereja ortodok mereka termasuk yang disebutkan dalam firman Allah Swt: dan sekiranya Allah tiada menolak keganasan sebagian manusia terhadap sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah (Qs. Al-Hajj: 40). Menurut salah satu dari dua penafsiran, dan diantara kesopanan pedang umat Islam adalah ia melindungi masjid-masjid yang digunakan untuk beribadah kepada Allah, dan untuk menjaga gereja-gereja tempat ibadah orang-orang ahli zimmah (ahli kitab yang mendapat jaminan keamanan dari pemerintah Islam), bukan karena isi keyakinan mereka dan bacaan ibadah mereka disukai Allah, tapi karena mereka menjadi orang yang keamanannya berada di bawah kekuasaan kita dan kita wajib menjaga dan melindungi mereka.
Diantara kesopanan pedang Islam adalah tidak mau dan tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak kecil, orang-orang sakit, orang-orang yang lemah, orang-orang yang sudah tua dan tidak mampu berperang. Bahkan dilarang membunuh para pendeta yang menghabiskan hidup mereka hanya untuk beribadah di tempat-tempat ibadah mereka. Dalam kitab Sunan Abu Daud disebutkan bahwa Rasulullah mengutus salah seorang sahabat seraya bersabda, “Katakan pada Khalid: jangan membunuh perempuan dan para buruh (pekerja bayaran)”.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Ra bahwa ketika Rasulullah Saw mengirim pasukan, beliau bersabda, “Berangkatlah kalian dengan menyebut nama Allah, dan jangan membunuh orang tua yang sudah tidak berdaya, jangan membunuh anak kecil, jangan membunuh perempuan dan jangan melampaui batas”.
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab yang menyatakan, Rasulullah bersabda, “Bunuhlah orang-orang dewasa mereka dan berlomba-lombalah kalian membunuh yang muda-muda”.
Imam Malik mengatakan, “Orang-orang yang buta, orang-orang yang cacat dan para ahli ibadah yang berada di tempat ibadahnya tidak boleh dibunuh”. Maksud dari Hadis di atas kita boleh membunuh orang-orang yang ikut berperang dan tidak boleh membunuh anak kecil, dan maksudnya bukan untuk membunuh orang-orang tua yang sudah tidak berdaya, bagaimana itu bisa terjadi, padahal Rasulullah telah melarang hal itu?
Diantara kesopana pedang Islam adalah ia tidak boleh keluar dari sarungnya, kecuali setelah sampai ajakan kepada mereka dan memberi pilihan kepada mereka, jika mereka termasuk ahli kitab maka setelah diberi tawaran tadi, mereka diberi pilihan lain yaitu memilih jalan damai dengan cara minta jaminan keamanan dan membuat perjanjian dengan orang-orang Islam. Tapi jika mereka masih tetap menolak dan menentang, maka dipersilahkan untuk menghunus pedang dan kita juga akan menghunus pedang.
Memang benar, orang-orang Islam telah berperang di jalan Allah selama empat belas abad atau bahkan lebih. Pedang kita terhunus dari sarungnya, tapi ini juga berhadapan dengan pedang musuh yang juga terhunus dari sarungnya. Pedang kita bertemu dengan pedang mereka, ini bukan aib dan bukan cela bagi kita, justeru ini merupakan aib dan kehinaan bagi musuh-musuh kita yang meninggalkan medan pertempuran dan menyusup untuk membunuh para perempuan, menyembelih anak-anak kecil dan merampas harta benda, sedangkan kita tidak pernah melakukan hal itu dan tangan-tangan kita masih tetap bersih dan suci, tidak berlumuran tipu daya dan pengkhianatan serta tidak berbuat hina dan rendah, seperti apa yang dinukil oleh sejarah tentang perbuatan orang-orang Kristen di Spanyol, orang-orang Kristen pada perang Salib di Baitul Maqdis dan seperti yang dilakukan orang-orang Serbia di Bosnia dan Harsik yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun.
Di antara kesopanan pedang umat Islam bahwa ia tidak akan membunuh orang yang sudah diberi jaminan oleh orang Islam, siapa pun dia. Karena kita tidak boleh berkhianat, ini merupakan karakter kita dan karakter Rasulullah Muhammad Saw yang ditegaskan oleh Abu Sufyan bin Harb sebelum dia masuk Islam, saat ditanya oleh Herkules (Harqal) dengan pertanyaan yang sudah sangat masyhur mengenai Rasulullah Saw. Diantaranya: “Apakah dia berkhianat?” Abu Sufyan menjawab, “Tidak”. Herkules berkata, “Demikianlah, para utusan tidak pernah berkhianat”. Kemudian pada akhir dialognya Herkules memberi pernyataan tentang Rasulullah Saw, “Saya tahu bahwa dia adalah seorang utusan, meski saya tidak tahu bahwa dia dari golongan kalian, seandainya saya bisa menjadi pengikutnya saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menemuinya, dan jika saya berada di sisinya niscaya saya akan membasuh kedua kakinya”.
Yang termasuk kesopanan pedang umat Islam adalah bahwa ketika kita mengadakan perjanjian dengan suatu kaum, kita sangat hati-hati agar tidak mengingkari perjanjian tersebut. Mengkhianati mereka dan tidak memulai perang dengan mereka, kita tahu hal itu dari ciri-ciri dan tanda-tandanya. Kita tidak boleh memerangi mereka sebelum kita memberi tahu mereka terlebih dahulu bahwa kita mau menyerang mereka, agar mereka bersiap-siap. Allah Swt berfirman: dan jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (Qs. Al-Anfal: 58). Yakni sampai kamu dan mereka sama-sama tahu bahwa perjanjian telah dilanggar. Para ahli fikih sampai berkata, “Jika pagar pelindung mereka roboh dan rusak, kita tidak boleh memerangi mereka sampai mereka selesai membangun kembali pagar tersebut”.
Iya benar, bahwa kita berperang di jalan Allah selama empat belas abad lebih, dan kita bangga bahwa hanya kita saja yang dalam kurun waktu sepanjang ini yang berperang di (jalan Allah) dan untuk (menjadikan agama Allah yang paling tinggi). Maka siapa pun tidak boleh mengatakan bahwa kita berperang untuk menindas dan membasmi makhluk hidup. Tidak… Karena jika mereka memerangi kami, kami akan perangi mereka, jika mereka membawa pedang kepada kami, kami akan membawa pedang kepada mereka, dan hal seperti ini sama sekali tidak termasuk kezaliman atau penindasan. Yang termasuk kezaliman, penindasan, pembantaian dan perusakan adalah apa yang dilakukan orang lain yang insyaallah akan kami jelaskan setelah ini.
Robet Stone menyebutkan dalam bukunya, “Hanya umat Islam saja yang memiliki semangat juang sangat tinggi demi agamanya dan memiliki jiwa toleransi terhadap agama-agama lain, meski mereka memiliki militansi dan perinsip sangat kuat untuk menyebarkan agama mereka, tapi mereka tidak mengganggu orang yang ingin tetap mengamalkan ajaran agama mereka”.
Pengarang buku “Perang Salib dan Timur Tengah” mengatakan, “Hanya saja, umat Islam memiliki karakter khusus dalam tata cara perang mereka yang tidak pernah ada sebelumnya, dan yang menggelikan sikap toleransi mereka justeru menjadi bumerang bagi mereka, sehingga mereka dituduh pengecut gara-gara kasih sayang mereka terhadap orang-orang lemah yang tidak ikut berperang”.
Dan sekarang mari kita buka lembaran sejarah, sejarah kemanusian sejak terpancarnya cahaya Islam, sampai pada zaman kita sekarang ini.

Kamis, 20 Juni 2013

Kacamata Syariat dalam Amar Makruf Nahi Mungkar



Kedua penulis menyajikan beberapa tingkatan yang harus diperhatikan dalam melakukan amar makruf nahi mungkar, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Tingkatan tersebut sebagai berikut:
  1. Memberi tahu atau mengajari. Harus dipastikan dahulu bahwa pelaku kemungkaran yang menjadi objek penegakan amar makruf nahi mungkar adalah orang yang tidak mengetahui hukum sebenarnya dari kemungkaran tersebut. Kalaupun tahu bahwa kelakuannya merupakan kemungkaran maka ia segera meninggalkan kelakuan tersebut. Pegiat amar makruf nahi mungkar harus menjelaskan hukum kemungkaran tersebut kepada pelakunya secara lembut, penuh kasih sayang, dan sabar.
  2. Nahi mungkar harus dilakukan secara bijak, penuh nasihat, dan jika harus ditakut-takuti maka arahkan agar takut kepada Allah.
  3. Dengan menggunakan kata-kata yang lebih keras agar mau meninggalkan kemungkaran. Kata-kata yang lebih keras mungkin diperlukan, tetapi tetap harus dalam koridor kebenaran dan kejujuran serta tidak boleh menggunakan kebohongan. Penggunaan kata-kata kotor atau keji tidak diperkenankan. Demikian pula melayangkan tuduhan, seperti tuduhan zina tanpa saksi yang cukup, juga tidak diperbolehkan.
  4. Ketika tiga cara itu masih belum mempan, maka baru diperkenankan menggunakan tangan (kekuatan) untuk menanggulangi kemungkaran. Namun, para ulama juga tidak gegabah, terbukti dengan adanya tiga tingkatan dalam penggunaan tangan dalam nahi mungkar ini, yaitu sebagai berikut.
a.      Berlaku keras terhadap barang-barang tertentu, tidak langsung mengenai pelaku kemungkaran. Misalnya membanting gelas yang berisi khamar atau barang-barang pecah belah lainnya.
b.      Mengancam akan memukul.
c.       Jika kedua cara kekerasan sebelumnya masih tidak manjur, maka diperbolehkan memukul langsung pelaku kemungkaran.
Kedua penulis juga mewanti-wanti bahwa pegiat amar makruf nahi mungkar harus memosisikan diri sebagai seorang penolong. Sebagai penolong, seseorang tidak boleh semena-mena menyakiti pelaku kemungkaran, apalagi sampai menjatuhkan hukuman sesuai hudud karena kewenangan vonis dan pelaksanaan hudud hanya dimiliki oleh hakim(pemerintah).
  1. Mengangkat senjata dalam memerangi kemungkaran. Cara terakhir ini tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama karena merupakan domain pemerintah atau lembaga yang mendapatkan wewenang dari negara.

Rabu, 12 Juni 2013

Berbuat Baik pd Orang Tua



Allah Swt berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik....” (QS. Luqman [31]: 15). Memang syirik merupakan dosa paling besar, tetapi menghormati orang tua merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan sampai kapan pun. Kedua hal ini bisa dipisahkan secara bijak. Karena itu, sungguh salah besar jika seseorang berani melawan atau menyakiti orang tuanya, meski orang tuanya itu tengah berbuat kemungkaran, termasuk berbuat syirik. Al-Quran bahkan melarang sekadar sedikit membantah orang tua, sebagaimana disebutkan dalam ayat, “...maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan, ‘Ah....’” (QS. Al-Isra` [17]: 23).

Bahkan, perintah Allah Swt untuk berbuat baik kepada kedua orang tua disandingkan dengan perintah untuk menyembah-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak....”  (QS. Al-Isra` [17]: 23). Allah juga berfirman, “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua....” (QS. An-Nisa` [4]: 36).

Tidak boleh menyakiti orang tua karena orang tualah yang paling susah ketika membesarkan anaknya. Allah Swt berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan....” (QS. Al-Ahqaf [46]: 15). Allah Swt juga berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu” (QS. Luqman [31]: 17).

Rasulullah bersabda, “Sungguh celaka! Sungguh celaka! Sungguh celaka! Orang yang tidak memedulikan kedua orang tuanya saat keduanya telah tua renta, baik salah satu maupun keduanya. Hal itu bisa menyebabkannya tidak masuk bisa surga.” Rasulullah juga bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu tentang dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar?” Rasulullah menanyakan ini sampai tiga kali. Para sahabat pun menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (hal. 113)

Kedua penulis lalu menyimpulkan beberapa poin penting mengenai sikap seorang anak kepada kedua orang tua:
  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh membunuh orang tua akibat membunuh anaknya.
  2. Wajib menjaga hubungan baik dengan kedua orang tua dan wajib memberi nafkah kepada keduanya jika keduanya fakir, bahkan meskipun keduanya kafir.
  3. Disarankan tetap menaati keduanya meski keduanya memerintahkan untuk meninggalkan sesuatu yang disunnahkan, misalnya jika keduanya meminta sang anak untuk tidak pergi berperang maka sang anak sebaiknya mengikuti perintah tersebut.
  4. Menurut mayoritas ulama, sang anak sebaiknya memenuhi panggilan orang tua jika ia dipanggil dalam keadaan tengah melaksanakan shalat, jika shalat itu memang bisa diulangi lagi.
  5. Orang tua boleh mengambil harta anaknya tanpa izin anaknya dan ia tidak wajib mengembalikan harta tersebut. Demikian menurut sebagian ulama.
  6. Jika seorang anak berprofesi sebagai algojo maka ia tidak boleh melakukan eksekusi atas orang tuanya.
  7. Dimakruhkan hukumnya (tidak dianjurkan) seorang anak muslim menampakkan diri di hadapan orang tua yang berada di barisan perang kaum kafir.
  8. Tidak boleh menikahi mantan istri ayah atau mantan suami ibu, baik ketika ayah atau ibu masih hidup maupun ayah atau ibu sudah meninggal. Hal itu untuk menghormati kedua orang tua.

Adapun penegakan amar makruf nahi mungkar terhadap kedua orang tua tidak boleh dibarengi dengan membentak atau melarang. Hal itu karena Allah memerintahkan bahwa kedua orang tua harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, teladan yang telah diperlihatkan Nabi Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam surah Maryam juga wajib diikuti.

Kedua penulis menutup bab ini dengan mengungkapkan bahwa Islam melarang penegakan amar makruf nahi mungkar yang justru menyakiti orang tua, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasulullah sendiri pernah bersabda, “Di antara dosa paling besar di antara dosa-dosa besar adalah seorang laki-laki yang mencela orang tuanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang mencela orang tuanya?” Beliau menjawab, “Ya, jika ada seseorang mencela ayah temannya maka temannya itu membalas dengan mencela ayahnya; jika ada seseorang mencela ibu temannya maka temannya itu membalas dengan mencela ibunya.”