Senin, 14 Oktober 2013

Revisi Pemahaman Seputar Persoalan Jihad agar Sesuai dengan Aturan Syariat



Bab ini diberi judul “Revisi Pemahaman Seputar Persoalan Jihad agar Sesuai dengan Aturan Syariat”. Jihad tidak bisa dijadikan alasan satu-satunya untuk melakukan peperangan. Harus ada syarat-syarat lain yang menyertainya, termasuk tidak adanya faktor-faktor penghalang. Melalui kata penghalang inilah, penulis buku ini memberikan contoh-contoh yang menjelaskan apa maksud dan tujuan dari jihad. Dalam mendefinisikan penghalang penulis berkata, “Ia adalah sesuatu yang mengharuskan agar sesuatu tidak terjadi.” Dengan kata lain, ia adalah hal yang menghalangi keberadaan sesuatu yang lain, tanpa ada hukum. Seperti jalinan pertalian darah bapak-anak  (al-ubuwwah) yang menghalangi hukum qishash dalam perkara pembunuhan.
Di dalam kitab berjudul Irsyad al-Fuhul, Asy-Syaukani mendefinisikan penghalang sebagai “sifat zahir yang keberadaannya mengharuskan sebuah hukum tidak harus dilaksanakan, atau seakan tidak ada sebab”. Amadi, Abdul Wahhab Khalaf, dan ulama lain setuju dengan definisi Asy-Syaukani ini. Para ahli hukum Islam, membagi hal ini dalam dua hal, berdasar dampak yang bisa terjadi: yang memengaruhi hukum dan yang memengaruhi sebab hukum. Contoh dari penghalang yang memengaruhi hukum adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris kepada pewaris. Ini memiliki dampak pada hukum waris, sehingga tidak ada waris-mewaris dalam hal ini. Sedangkan contoh dari penghalang yang memengaruhi sebab sebuah hukum adalah hutang yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki harta mencapai nishab. Hal ini memiliki dampak dalam sebab-sebab wajibnya zakat, yakni nishab. Maka, dalam kasus ini zakat tidak wajib bagi mereka yang mencapai nishab, selama ia masih memiliki hutang yang bisa mengecilkan atau menghilangkan sama sekali kadar nishabnya.
Seperti itu juga dalam jihad. Di dalamnya terdapat sebab-sebab yang mengarahkan, seperti adanya musuh, bahaya yang mengancam negeri Islam atau bangsa Muslim, adanya fitnah, dan lain sebagainya. Bisa jadi sebagai langkah preventif atau inisiatif. Ada juga penghalang-penghalang yang bisa meruntuhkan kewajiban jihad. Penghalang ini menjadi tembok pemisah antara kaum muslimin dengan jihad. Penghalang ini adalah penghalang syar’i yang ditegaskan oleh para ulama salaf. Jika penghalang ini pernah menjadi ukuran pada masanya dulu, ketika orang-orang Islam menghadapi orang-orang kafir, maka pada saat ini ia dapat digunakan sebagai standar dalam peperangan antara kaum muda gerakan-gerakan Islam dengan polisi negara.

Senin, 30 September 2013

Jihad yang Realistis

Dengan demikian, mereka bisa dengan mudah merealisasikan keinginan busuk mereka. Di antara pihak-pihak yang ditulis dalam buku ini adalah sebagai berikut:

1.                  Israel. Segala upaya untuk melemahkan negara atau upaya untuk menyeret negara dalam kubangan persoalan internal tiada henti pasti akan mendapatkan bantuan dan dukungan dari mereka. Israel melakukannya dengan memantikkan fitnah di antara gerakan-gerakan Islam dan pemerintah. Israel berusaha menimbulkan peperangan di antara keduanya agar mereka sama-sama lemah dan saling serang. Dengan demikian, mereka akan melupakan persoalan-persoalan lain, semisal problem kawasan (Arab) dan impian-impiannya. Israel juga berusaha untuk melemahkan kaum muslimin di negara-negara yang mengelilinginya, dengan cara menyerbarkan hal-hal buruk dan tak bernilai, melemahkan ekonomi, merusak moral, menebar virus pesimisme lewat wacana-wacana bohong seputar kekuatan militer tak tertandingi yang mereka miliki, kekuatan nuklir mereka, simpanan bom atom, yang menurut mereka dipersiapkan untuk menghadapi perang melawan Arab. Ditambah lagi dengan gerakan-gerakan spionase dan peredaran narkoba yang mereka lancarkan. Tidak diragukan lagi, untuk menghadapi semua itu diperlukan kesatuan dan peningkatan kekuatan internal dalam menghadapi Israel. Untuk menghadapi upaya-upaya melemahkan negara.

Kamis, 26 September 2013

Ulasan mengenai Jihad



Penulis buku ini menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sangat logis dan komprehensif. Mereka mengatakan, “Bersabarlah. Kami rasa pahala dari sikap sabar  dalam konteks ini lebih berat dan lebih diharapkan dalam timbangan amal nanti. Kita harus berusaha sekuat mungkin untuk menghentikan aksi-aksi yang tidak menghasilkan apa pun selain pertumpahan darah dari saudara seagama. Mungkin hal itu akan menjadi awal yang baik untuk meringankan dan menghentikan penderitaan yang selama ini dijalani. Semua orang akan mendapatkan kesempatan untuk membangun negara dan mengatasi segala persoalan. Sudah seharusnya kita mulai bergerak bersama menghadapi segala tindakan buruk dan kejahatan, berharap pahala dan rida dari Allah.”
Meskipun bab ini tidak terlalu panjang, tetapi pembaca akan menemukan kepuasan dari ulasan-ulasan mendalam yang dilakukan penulis. Buku ini memaparkan topik-topik umum seputar landasan syariat dengan sangat baik, untuk kemudian menjelaskan hasil dan tujuan yang seharusnya. Sebagai kesimpulan, ia mengurai haramnya peperangan yang hanya mendatangkan kemudharatan dan tak mencapai tujuan apa pun. Berdasar pada kaidah yang disebutkan oleh Imam Izzuddin bin Abdussalam, “Semua yang menghalangi tercapainya sebuah tujuan, maka ia adalah batil.”

Rabu, 18 September 2013

Gerakan Jihad Yang benar menurut Syariat Islam

Jihad bukanlah tujuan itu sendiri. Jihad dilakukan dengan tujuan yang jelas. Jika tujuannya sudah tiada, maka peperangan tidak perlu lagi dilakukan. Hal itu hanya akan mendatangkan kemudharatan. Jadi, pertimbangan antara kemudharatan dan kemaslahatan ini adalah salah satu poin penting dalam membangun ijtihad, menyusun syariat Islam, dan mengarahkan kinerja dan langkah kaum muslimin agar senantiasa berada dalam jalur syar’i. 
Penulis juga menjelaskan dasar-dasar penting terkait dengan peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh para pemuda yang berafiliasi dengan gerakan-gerakan Islam, termasuk Jamaah Islamiyah, dengan alat negara (di Mesir). Penulis membagi maslahah dalam tiga hal: harus dilakukan (dharuriyyah), kondisional (hajiyah), dan usaha perbaikan (tahsiniyah). Penjelasan ini selaras dengan apa yang telah diungkap sebelumnya, yakni kewajiban menjaga lima hal pokok dalam kehidupan manusia: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kehilangan salah satu dari lima hal ini adalah hal buruk yang harus dihindari. Sementara maslahah yang kondisional tidak terkait dengan hal-hal mendasar dalam kehidupan seperti di atas. Artinya, tanpa hal tersebut kehidupan tetap bisa berjalan dengan baik. Dan bagian ketiga, yang disebut sebagai tahsiniyah, adalah sebuah kondisi etis dimana moralitas dan akhlak menjadi pertimbangan utama.

Terkait dengan maslahah yang tidak tertulis dalam teks agama, ada tiga hal—seperti dijelaskan oleh para ahli hukum Islam, seperti Imam Ghazali—yang harus diperhatikan sebagai syarat. Pertama, maslahahnya harus jelas ada. Paling tidak berdasar perkiraan mayoritas. Tidak ada tempat bagi maslahah yang hanya berdasar ilusi. Dalam konteks ini, mereka memberikan contoh maslahah kodifikasi Al-Quran pasca-Rasulullah Saw, ketika banyak para penghafal Al-Quran meninggal dalam peperangan, seperti Perang Yamamah.  

Selasa, 17 September 2013

kemudharatan atas agama



Setelah itu, kedua penulis memaparkan beberapa ayat Al-Quran dan Hadis Nabi untuk menjelaskan makna di atas. Di antara ayat Al-Quran yang mereka kutip adalah: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah kepada mereka bahwa di dalam keduanya terdapat dosa besar dan manfaat untuk manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Ayat ini menegaskan bahwa sebab keharaman khamar—seperti ditulis Ibnu Taimiyah—adalah banyaknya kerusakan yang terjadi dalam khamar dan judi, dibanding kemaslahatan yang mungkin juga terjadi. Kerusakan besar, seperti hilangnya kesadaran dan munculnya tindakan-tindakan tidak etis lebih parah dari sekadar kesenangan yang mungkin hadir. Oleh karena itu, khamar dan judi diharamkan.
Allah swt berfirman, “Janganlah kamu menghina orang-orang yang mengajak kepada selain Allah, sehingga mereka menghina Allah dengan semena-semena, tanpa pengetahuan.” Ayat ini melarang kita menghina dan mencela Tuhan-tuhan orang musyrik agar mereka tidak menghina Tuhan kita, Allah swt. Kemudharatan serupa hinaan terhadap Allah jauh lebih besar daripada kemaslahatan yang mungkin ada dalam hinaan atas tuhan-tuhan mereka.
Al-Qurthubi berkata, “Ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa orang yang mengetahui sebuah kebenaran boleh menyimpan kebenaran itu, jika dalam pengungkapannya akan mendatangkan kemudharatan atas agama.” Ibnu Katsir mengatakan, “Allah swt dengan tegas melarang Rasulullah Saw dan orang-orang mukmin menghina Tuhan-tuhan orang musyrik, meski di dalamnya terdapat sebuah kebaikan, sebab itu akan mendatangkan kemudharatan yang lebih besar: yakni hinaan dan caci maki orang musyrik atas tuhan orang-orang mukmin.