Jihad bukanlah tujuan itu sendiri. Jihad dilakukan dengan
tujuan yang jelas. Jika tujuannya sudah tiada, maka peperangan tidak perlu lagi
dilakukan. Hal itu hanya akan mendatangkan kemudharatan. Jadi, pertimbangan
antara kemudharatan dan kemaslahatan ini adalah salah satu poin penting dalam
membangun ijtihad, menyusun syariat Islam, dan mengarahkan kinerja dan langkah
kaum muslimin agar senantiasa berada dalam jalur syar’i.
Penulis juga menjelaskan dasar-dasar penting terkait dengan
peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh para pemuda yang berafiliasi dengan
gerakan-gerakan Islam, termasuk Jamaah Islamiyah, dengan alat negara (di
Mesir). Penulis membagi maslahah dalam tiga hal: harus dilakukan (dharuriyyah),
kondisional (hajiyah), dan usaha perbaikan (tahsiniyah).
Penjelasan ini selaras dengan apa yang telah diungkap sebelumnya, yakni
kewajiban menjaga lima hal pokok dalam kehidupan manusia: agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Kehilangan salah satu dari lima hal ini adalah hal buruk
yang harus dihindari. Sementara maslahah yang kondisional tidak terkait dengan
hal-hal mendasar dalam kehidupan seperti di atas. Artinya, tanpa hal tersebut kehidupan
tetap bisa berjalan dengan baik. Dan bagian ketiga, yang disebut sebagai tahsiniyah,
adalah sebuah kondisi etis dimana moralitas dan akhlak menjadi pertimbangan
utama.
Terkait dengan maslahah yang tidak tertulis dalam teks agama,
ada tiga hal—seperti dijelaskan oleh para ahli hukum Islam, seperti Imam
Ghazali—yang harus diperhatikan sebagai syarat. Pertama, maslahahnya harus
jelas ada. Paling tidak berdasar perkiraan mayoritas. Tidak ada tempat bagi
maslahah yang hanya berdasar ilusi. Dalam konteks ini, mereka memberikan contoh
maslahah kodifikasi Al-Quran pasca-Rasulullah Saw, ketika banyak para penghafal
Al-Quran meninggal dalam peperangan, seperti Perang Yamamah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar